Di Indonesia, pulang kampung untuk berlebaran sudah menjadi tradisi. Makna mudik sudah berjalan selama puluhan tahun, bahkan sudah menjelma menjadi bagian dari spiritualitas Lebaran (Yudi Latif, 2007).
Namun, sesungguhnya tradisi mudik mengisyaratkan suatu “beban sosial” yang tidak ringan. Ironisnya, beban ini justru dianggap “bukan sebagai beban”. Kesadaran bermudik dibayangi oleh semacam “kesadaran magis” (magic consciousness) meminjam istilah Paulo Freire.
Struktur sosial masyarakat kampung atau pedesaan merupakan kebalikan dari masyarakat modern di perkotaan. Desa adalah simbol tradisionalisme atau kekolotan. Sebaliknya, kota adalah simbol modernitas atau kemajuan.
Kita tentu masih ingat sosok Tukul Arwana di acara televisi yang sering berceloteh, “wong ndeso!” Istilah “wong ndeso!” merupakan salah satu bentuk stigma yang sedang meminggirkan kultur masyarakat kampung. Istilah ini juga identik dengan kata “udik” atau “kampungan.” Sebaliknya, untuk menyebut kemajuan atau kemodernan, orang akan berceloteh, “orang kota!” Atau, orang akan berseloroh, “modern!”
Selama ini, orang-orang kampung menganggap kota bagaikan sorga dunia. Di kota, dalam anggapan mereka, segalanya ada. Di kota, segala keinginan bakal tercapai. Kemewahan adalah warna kultur perkotaan.
Sebaliknya, orang-orang kampung menganggap kultur dan tempat tinggal mereka sendiri terlalu udik. Di desa, anggap mereka, segalanya serba terbatas. Di desa, segala keinginan sulit tercapai. Desa identik dengan kebersahajaan, keterbelakangan, kemelaratan.
Berangkat dari sinilah, tradisi urbanisasi kian menjamur. Orang-orang kampung banyak menaruh harapan dengan cara mengadu nasib di kota-kota besar.
Mereka terpukau pada gemerlap kultur perkotaan. Mereka ramai-ramai merantau.
Di antara mereka ada yang berbekal ijazah dan keterampilan, tetapi ada juga yang hanya sekadar “berjudi” mengadu nasib. Mereka yang berbekal ijazah dan keterampilan memang banyak yang sukses—tentu dengan kadar kesuksesan yang berbeda.
Beban Sosial
Namun, tidak sedikit yang kurang beruntung. Untuk mereka, jenis pekerjaan apapun yang didapat akan dijalani. Entah jadi buruh di pabrik, tukang kebun, kuli bangunan, sopir, pembantu rumah tangga, pelayan toko, atau barangkali jadi pramunikmat.
Bagi mereka yang hanya sekadar berjudi dengan cara mengadu nasib tanpa bekal ijazah dan keterampilan hanya akan jadi beban sosial di kota. Sebab, kebanyakan dari mereka hanya jadi pengangguran. Malah banyak juga yang jadi pengemis atau gelandangan.
Balada tragedi orang-orang yang merantau ke kota-kota besar mengendap tanpa diketahui oleh keluarga mereka di kampung. Karena tingkat pendidikan yang rendah, orang-orang di kampung tidak memahami fenomena urbanisasi dan seabreg permasalahannya, sekalipun sudah berkali-kali diberitakan di media massa. Keluarga hanya tahu kalau anak mereka merantau di kota besar.
Mereka tidak tahu seluk-beluk kehidupan buruh di perkotaan, yang jaminan kesejahteraannya masih di awang-awang. Orang-orang di kampung juga tidak tahu kalau anak-anak mereka jadi tukang kebun, kuli bangunan, sopir, pembantu rumah tangga, pelayan toko, atau barangkali jadi pekerja seks.
Yang mereka tahu ketika anak-anak pulang mudik membawa cerita sukses, membawa banyak uang dan aneka barang mewah. “Jadi apa kamu sekarang?” itulah pertanyaan orang-orang di kampung untuk menguak kisah sukses seorang perantau. Seberapa banyak uang yang didapat atau, seberapa banyak barang mewah yang dibawanya, itulah tolok ukur keberhasilan seorang perantau.
Tetapi, ajang mudik sebenarnya justru menjadi “beban sosial” yang acapkali tidak disadari atau dikesampingkan oleh mereka. Hampir dipastikan setiap mudik lebaran, para pemudik harus mempersiapkan segala keperluannya. Umumnya persiapan dalam bentuk uang atau barang-barang mewah untuk dipersembahkan kepada keluarga di kampung.
Uang untuk “fitrah” bagi anak-anak dan barang mewah sebagai bukti ke-berhasilan selama merantau di kota. Khusus bagi perantau yang merasa be-lum sukses, dia akan enggan mengikuti arus mudik.
Kesiapan mudik jelas jadi beban. Karena tidak semua pemudik membawa pulang kisah sukses. Tidak semua uang atau barang-barang mewah yang mereka bawa ke kampung merupakan hasil dari kesuksesannya.
Kita tidak bisa menutup mata, bahwa di tengah himpitan ekonomi yang serba sulit sekarang ini, para pemudik rela pinjam uang kepada orang lain hanya untuk bisa pulang kampung. Ada juga yang menggadaikan barang-barang di pegadaian untuk mendapatkan uang yang akan dipersembahkan kepada keluarga di kampung.
Demi Prestise
Selain membawa uang banyak ke kampung, ukuran keberhasilan seorang perantau juga dilihat dari seberapa banyak barang-barang mewah yang dibawa pulang. Seperti TV, HP, kipas angin, kulkas, motor, mobil, CD/DVD Player, dan lain-lain. Padahal, untuk ukuran mereka, kebutuhan pokok jauh lebih utama dibanding barang-barang mewah.
Tetapi, karena unsur “prestise” selama mudik, orang-orang banyak yang mengesampingkan kebutuhan pokok. Mereka lebih memilih untuk membeli kebutuhan sekunder yang mewah dan sudah pasti harganya mahal.
Di puncak mudik, yakni Hari Lebaran, setiap keluarga akan memperlihatkan berbagai bentuk keberhasilan anak-anak mereka selama merantau di kota. Kisah sukses, uang banyak, berbagai barang mewah akan menjadi hiasan dan buah bibir di sela-sela kunjungan silaturahmi. Tentu saja prestise seseorang akan naik manakala dia mengaku sudah berhasil meraih jabatan tertentu. Puncak mudik seakan-akan sudah menjelma menjadi ajang prestise.
Fenomena yang demikian, sekalipun sudah menjadi tradisi, tetapi sesungguhnya mengisyaratkan satu bentuk “kesadaran semu.” Sebuah “kesadaran magis” yang sarat beban. Cobalah perhatikan. Ketika arus balik nanti, tidak jarang para perantau merasa kelimpungan.
Mereka kembali berpikir keras untuk bisa kembali ke kota. Tentu, selama arus balik, mereka butuh biaya besar. Kemudian, sesampainnya di kota, bagi mereka yang dulu pinjam uang untuk mudik dipaksa berpikir keras untuk bisa mengembalikan uang pinjamannya. Atau, mereka harus mencari uang untuk bisa menebus kembali barang-barangnya di pegadaian.
Anehnya, fenomena semacam ini dianggap “bukan sebagai beban.” Padahal, secara ekonomis, beban ini betul-betul terasa. Di sini, tradisi mudik sudah dibayang-bayangi “kesadaran magis.” Karena dorongan spiritual Lebaran, mereka rela mengada-adakan sesuatu yang sesungguhnya di luar kemampuan mereka.
Pengamat Komunitas Aksara Yogyakarta.