Senin, 06 Oktober 2008

Mudik yang Tak Terlupakan

Semua orang mungkin punya banyak cerita, banyak kejadian-kejadian yang mungkin takdapat di lupakan menjelang musim mudik lebaran kali ini. Baik bersipat perorangan mungkin juga dalam partai kelompok semua dapat merasakan kegembiraan tersendiri.

Nah, bagaimana dengan cerita mudik anda kali ini?

Oho...banyak mungkin yang akan di ceritakan bila sudah bertemu kerabat saudara atau teman-teman di sekitar kita.......

Ni, ada sekelumit mungkin bisa di bilang cerita atau apalah yang penting Q pengen aja Ngetak ngetik di malam ini, begini ceritanya....

Singkat aja yah...~~~

Cerita berawal dari 6 saudara yang kesemuanya benar-benar lagi menimba ilmu nih di kota bandar lampung dan sekitarnya~~~

Kebetulan di tahun ini kesemuanya bisa pulkam bareng-bareng, Alah bok Asik juga ternyata pulkam/mudik bareng saudara-saudara sendiri~~~

Pagi itu, Q bagun sekitar jam 8 lewat bergegas bangun san lekas mandi n sampai lupa untuk gosok gigi. Pergi Pagi Sendirian, sangking buru-burunya pengen cepet tiba di terminal buat pesen tuh yang namanya karcis bus. Dengan Kotak oleh-oleh dalam panggulan Q bergegas pesen karcis <> " Berapa duit bang kelas AC ? 48 Rebuk per orang, 6 orang Bang, Karcis dah di tangan, eh Ada yang ketinggalan ternyata Cuy~~~Ada Titipan buat Nyokap dari Chayang yang ketinggalan di dalam lemi

Bergegas Cari HP dan langsung Telp Mbak Kita yang kebetulan masih di kontrakan tuh, Singkat kata Minta tolong Bawain tuh yang namanya Barang titipan.
~~~
Terasa benar-benar Q berlomba dengan waktu pagi itu, karcis bus yang kali pertama berangkat sudah berikan kode agar semua penumpang siap-siap untuk naik ke dalam bus, Q masih menunggu di Samping Bus, celingak celinguk kesana kemari cari-cari saudara-saudara ku yang belum kunjung datang, tak lama kemudian mata ini tertuju pada rombongan Cewe-cewe Cakep yang lagi pada jalan menuju terminal, Q lambaikan Tangan dan mereka pun mendekat, Kok Anggotanya Kurang 1, Eh Mbak Q ketinggalan dari Rombongan, Katannya sih masih di belakang di anter ama Cowoknya...Dah sambil nuggu di dalem Bus, Q coba tahan Bus untuk menunggu Mbak Tersayang. Eh, lama-lama bosen juga ya, yang di tunggu gak kunjung tiba, Lihat Muka Kendektur Bus yang kian kusut gak bisa nunggu lama-lama lagi, ku Otak-atik HP buat coba hubungin, Eh waktu itu emang lagi bikin sebel kayaknya, dah panas nunggu, telp gak da suara, telp gak da sinyal wah pokoknya semu rasanya pengen banget M~~~~

Bus pun meluncur bergegas meninggalkan Terminal Taman Kota, Q panik begitu juga dengan saudara-saudara ku, Q gak bisa bicara panjang lebar lagi saat itu, semua terdiam dan Q coba Hub lagi Mbak Tercinta " Mbak lagi di daerah mana? <> Ni dah deket Terminal<>, Kalo gi Buruan Tunggu di bunderan kota" daerah yang masih di depan Bus yang kami tumpangi.

Bus sampai dii Bunderan Kota, Celingak-celinguk lagi nih mata, Liat sana sini Eh mbak Q blom Kelihatan Juga... Sangking paniknya ku bilang ke Kendektur Bus " Bang Berhentiin dulu dong Bisnya, Mbak Saya dah di Sekitar ini" Bus pun berhenti agak jauh dari Bunderan Kota, Q lagi-lagi telp Mbak Tercinta, " Mbak lagi di mana, dah di bunderan Blom? <>, Udah, tapi dimana Busnya, Ku coba Turun dari bus Menuju Pantat Bus, Eh lagi telp-telp ma Mbak Tercinta Kelihatan juga tuh Mbak Q yang lagi di bonceng ma cowoknya, dah gak pake helem semua dua-duanya<>, Ala hasil Semua anggota dari 6 saudara mudik dalam 1 Bus yang sama berangkat dalam keadaan semalat di desa kelahiran tercinta....

Hak Cipta Vs Hak Paten

Beberapa hari yang lalu ada diskusi mengenai ‘perlukah artis memiliki Hak Cipta?’ di mailing list Pria Sehat Tanpa Celana. Saya termasuk yang tidak banyak memahami hukum Hak Cipta di Indonesia (malu saya sebagai orang Indonesia). Artis adalah pelaku seni (art), bisa sebagai pencipta (author) ataupun pemeran (performer), jangan diasosiasikan artis adalah hanya pemain sinetron atau selebriti ya!

Hukum Hak Cipta melindungi karya intelektual dan seni dalam bentuk ekspresi. Ekspresi yang dimaksud seperti dalam bentuk tulisan seperti lirik lagu, puisi, artikel atau buku, dalam bentuk gambar seperti foto, gambar arsitektur, peta, serta dalam bentuk suara dan video seperti rekaman lagu, pidato, video pertunjukan, video koreografi dll,

Definisi lain yang terkait adalah Hak Paten, yaitu hak eksklusif atas ekspresi di dalam Hak Cipta di atas dalam kaitannya dengan perdagangan. Regulasi di Amerika Hak Cipta diberikan seumur hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia, sedangkan paten berlaku 20 tahun. Saya tidak tahu hukum di Indonesia apakah sama atau tidak. Hak Cipta direpresentasikan dalam tulisan dengan simbol © (copyright) sedangkan Hak Paten disimbolkan dengan ™ (trademark). Hak Cipta atau Hak Paten yang masih dalam proses pendaftaran disimbolkan ® (registered). IANAL, so CMIIW dude!

Hukum Hak Cipta bertujuan melindungi hak pembuat dalam mendistribusikan, menjual atau membuat turunan dari karya tersebut. Perlindungan yang didapatkan oleh pembuat (author) adalah perlindungan terhadap penjiplakan (plagiat) oleh orang lain. Hak Cipta sering diasosiasikan sebagai jual-beli lisensi, namun distribusi Hak Cipta tersebut tidak hanya dalam konteks jual-beli, sebab bisa saja sang pembuat karya membuat pernyataan bahwa hasil karyanya bebas dipakai dan didistribusikan (tanpa jual-beli), seperti yang kita kenal dalam dunia Open Source, originalitas karya tetap dimiliki oleh pembuat, namun distribusi dan redistribusi mengacu pada aturan Open Source.Apa yang tidak dilindungi oleh hukum Hak Cipta?

Hak Cipta tidak melindungi peniruan, ide, konsep atau sumber-sumber referensi penciptaan karya. Apple sempat menuntut penjiplakan tema Aqua kepada komunitas Open Source, namun yang terjadi adalah bukan penjiplakan, tapi peniruan. Hak Cipta yang dimiliki Apple adalah barisan kode Aqua beserta logo dan gambar-gambarnya, sedangkan komunitas Open Source meniru wujud akhir tema Aqua dalam kode yang berbeda, dan tentunya membuat baru gambar dan warna pendukungnya. Meniru bukanlah karya turunan.

Dalam perangkat lunak selain karya asli yang dilindungi juga karya turunan (derivasi) tetap dilindungi. Misal Priyadi yang membuat kode plugin php exec di WordPress harus mengikuti aturan redistribusi yang berlaku pada WordPress, dan WordPress mengikuti aturan PHP dan PHP memiliki lisensi Open Source. Dengan kata lain Priyadi harus tunduk terhadap aturan Open Source dalam meredistribusikan kodenya, karena karya tersebut bersifat turunan.Masalah penjiplakan atau pembajakan memang tak pernah selesai, menjadi sangat rumit ketika semuanya berkaitan dengan uang atau meja hijau. Contoh kecil adalah misalnya jika saya menyanyikan lagu yang diciptakan oleh Chrisye di sebuah panggung dan penonton membayar saya, saya bisa dikatakan menjiplak dan mengambil untung. Kondisi ini jelas terjadi di mana-mana, banyak grup musik yang meniti karir dari pub ke pub menarik uang dengan menjiplak karya orang lain. Bahkan jika penampilan karya dalam bentuk gubahan, tetap dikatakan menjiplak karena itu bersifat karya turunan.Saya sendiri pun termasuk dalam rantai pembajakan, misalnya men-download musik-musik dalam format mp3 atau mengubah format CD Audio ke dalam mp3 dan memberikannya kepada orang lain. Dalam kasus ini saya tidak menjiplak, tapi lebih kepada ‘konsumen para pembajak’. Tugas pemerintahlah melalui hukum mengurangi rantai pembajakan ini, dan jelas bisa dikurangi jika yang dibasmi adalah mata rantai yang lebih tinggi (pengedar, terutama dalam volume yang besar), bukan pengguna akhir.

Mungkin picik saya berkata seperti itu, tapi itu saya alami dalam hal lain, misalnya membeli buku, saya tidak membajak karena nyaris tidak ada rantai pembajakan buku yang saya konsumsi. Sewaktu kuliah dulu pengajar mewajibkan membaca text-book berbahasa Inggris dan sangat mahal, sedangkan di perpustakaan kampus hanya ada dalam itungan jumlah jari dalam satu tangan, tentunya sangat repot saya baca karena laku keras dipinjam oleh mahasiswa, akhirnya buku tersebut difotokopi ramai-ramai. Buku lain yang mudah didapat tanpa membajak tentunya saya beli. Saya salah tapi tak bisa menyalahkan diri sendiri.


 


Oleh

Laura Ashley - Om Yulian.Firdaus

Mudik Yukz ~~~

Di Indonesia, pulang kampung untuk berlebaran sudah menjadi tradisi. Makna mudik sudah berjalan selama puluhan tahun, bahkan sudah menjelma menjadi bagian dari spiritualitas Lebaran (Yudi Latif, 2007).
Namun, sesungguhnya tradisi mudik mengisyaratkan suatu “beban sosial” yang tidak ringan. Ironisnya, beban ini justru dianggap “bukan sebagai beban”. Kesadaran bermudik dibayangi oleh semacam “kesadaran magis” (magic consciousness) meminjam istilah Paulo Freire.

Struktur sosial masyarakat kampung atau pedesaan merupakan kebalikan dari masyarakat modern di perkotaan. Desa adalah simbol tradisionalisme atau kekolotan. Sebaliknya, kota adalah simbol modernitas atau kemajuan.
Kita tentu masih ingat sosok Tukul Arwana di acara televisi yang sering berceloteh, “wong ndeso!” Istilah “wong ndeso!” merupakan salah satu bentuk stigma yang sedang meminggirkan kultur masyarakat kampung. Istilah ini juga identik dengan kata “udik” atau “kampungan.” Sebaliknya, untuk menyebut kemajuan atau kemodernan, orang akan berceloteh, “orang kota!” Atau, orang akan berseloroh, “modern!”
Selama ini, orang-orang kampung menganggap kota bagaikan sorga dunia. Di kota, dalam anggapan mereka, segalanya ada. Di kota, segala keinginan bakal tercapai. Kemewahan adalah warna kultur perkotaan.
Sebaliknya, orang-orang kampung menganggap kultur dan tempat tinggal mereka sendiri terlalu udik. Di desa, anggap mereka, segalanya serba terbatas. Di desa, segala keinginan sulit tercapai. Desa identik dengan kebersahajaan, keterbelakangan, kemelaratan.
Berangkat dari sinilah, tradisi urbanisasi kian menjamur. Orang-orang kampung banyak menaruh harapan dengan cara mengadu nasib di kota-kota besar.

Mereka terpukau pada gemerlap kultur perkotaan. Mereka ramai-ramai merantau.
Di antara mereka ada yang berbekal ijazah dan keterampilan, tetapi ada juga yang hanya sekadar “berjudi” mengadu nasib. Mereka yang berbekal ijazah dan keterampilan memang banyak yang sukses—tentu dengan kadar kesuksesan yang berbeda.

Beban Sosial
Namun, tidak sedikit yang kurang beruntung. Untuk mereka, jenis pekerjaan apapun yang didapat akan dijalani. Entah jadi buruh di pabrik, tukang kebun, kuli bangunan, sopir, pembantu rumah tangga, pelayan toko, atau barangkali jadi pramunikmat.
Bagi mereka yang hanya sekadar berjudi dengan cara mengadu nasib tanpa bekal ijazah dan keterampilan hanya akan jadi beban sosial di kota. Sebab, kebanyakan dari mereka hanya jadi pengangguran. Malah banyak juga yang jadi pengemis atau gelandangan.
Balada tragedi orang-orang yang merantau ke kota-kota besar mengendap tanpa diketahui oleh keluarga mereka di kampung. Karena tingkat pendidikan yang rendah, orang-orang di kampung tidak memahami fenomena urbanisasi dan seabreg permasalahannya, sekalipun sudah berkali-kali diberitakan di media massa. Keluarga hanya tahu kalau anak mereka merantau di kota besar.

Mereka tidak tahu seluk-beluk kehidupan buruh di perkotaan, yang jaminan kesejahteraannya masih di awang-awang. Orang-orang di kampung juga tidak tahu kalau anak-anak mereka jadi tukang kebun, kuli bangunan, sopir, pembantu rumah tangga, pelayan toko, atau barangkali jadi pekerja seks.
Yang mereka tahu ketika anak-anak pulang mudik membawa cerita sukses, membawa banyak uang dan aneka barang mewah. “Jadi apa kamu sekarang?” itulah pertanyaan orang-orang di kampung untuk menguak kisah sukses seorang perantau. Seberapa banyak uang yang didapat atau, seberapa banyak barang mewah yang dibawanya, itulah tolok ukur keberhasilan seorang perantau.
Tetapi, ajang mudik sebenarnya justru menjadi “beban sosial” yang acapkali tidak disadari atau dikesampingkan oleh mereka. Hampir dipastikan setiap mudik lebaran, para pemudik harus mempersiapkan segala keperluannya. Umumnya persiapan dalam bentuk uang atau barang-barang mewah untuk dipersembahkan kepada keluarga di kampung.
Uang untuk “fitrah” bagi anak-anak dan barang mewah sebagai bukti ke-berhasilan selama merantau di kota. Khusus bagi perantau yang merasa be-lum sukses, dia akan enggan mengikuti arus mudik.
Kesiapan mudik jelas jadi beban. Karena tidak semua pemudik membawa pulang kisah sukses. Tidak semua uang atau barang-barang mewah yang mereka bawa ke kampung merupakan hasil dari kesuksesannya.
Kita tidak bisa menutup mata, bahwa di tengah himpitan ekonomi yang serba sulit sekarang ini, para pemudik rela pinjam uang kepada orang lain hanya untuk bisa pulang kampung. Ada juga yang menggadaikan barang-barang di pegadaian untuk mendapatkan uang yang akan dipersembahkan kepada keluarga di kampung.

Demi Prestise
Selain membawa uang banyak ke kampung, ukuran keberhasilan seorang perantau juga dilihat dari seberapa banyak barang-barang mewah yang dibawa pulang. Seperti TV, HP, kipas angin, kulkas, motor, mobil, CD/DVD Player, dan lain-lain. Padahal, untuk ukuran mereka, kebutuhan pokok jauh lebih utama dibanding barang-barang mewah.
Tetapi, karena unsur “prestise” selama mudik, orang-orang banyak yang mengesampingkan kebutuhan pokok. Mereka lebih memilih untuk membeli kebutuhan sekunder yang mewah dan sudah pasti harganya mahal.
Di puncak mudik, yakni Hari Lebaran, setiap keluarga akan memperlihatkan berbagai bentuk keberhasilan anak-anak mereka selama merantau di kota. Kisah sukses, uang banyak, berbagai barang mewah akan menjadi hiasan dan buah bibir di sela-sela kunjungan silaturahmi. Tentu saja prestise seseorang akan naik manakala dia mengaku sudah berhasil meraih jabatan tertentu. Puncak mudik seakan-akan sudah menjelma menjadi ajang prestise.

Fenomena yang demikian, sekalipun sudah menjadi tradisi, tetapi sesungguhnya mengisyaratkan satu bentuk “kesadaran semu.” Sebuah “kesadaran magis” yang sarat beban. Cobalah perhatikan. Ketika arus balik nanti, tidak jarang para perantau merasa kelimpungan.
Mereka kembali berpikir keras untuk bisa kembali ke kota. Tentu, selama arus balik, mereka butuh biaya besar. Kemudian, sesampainnya di kota, bagi mereka yang dulu pinjam uang untuk mudik dipaksa berpikir keras untuk bisa mengembalikan uang pinjamannya. Atau, mereka harus mencari uang untuk bisa menebus kembali barang-barangnya di pegadaian.
Anehnya, fenomena semacam ini dianggap “bukan sebagai beban.” Padahal, secara ekonomis, beban ini betul-betul terasa. Di sini, tradisi mudik sudah dibayang-bayangi “kesadaran magis.” Karena dorongan spiritual Lebaran, mereka rela mengada-adakan sesuatu yang sesungguhnya di luar kemampuan mereka.


Pengamat Komunitas Aksara Yogyakarta.